Dorong Konsumsi dan Permintaan Kredit

Sumber: .sumeks.co.id./ JPNN
JAKARTA – Pemulihan konsumsi masyarakat menjadi penting untuk mendorong kembali pertumbuhan ekonomi. Permintaan kredit yang masih berada dalam titik lemah membuat Bank Indonesia (BI) perlu kembali melonggarkan kebijakan moneter.

Bank sentral kemarin (22/9) memangkas suku bunga acuan 25 basis point dari 5,25 persen menjadi 5 persen. Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo menyatakan bahwa BI perlu mendorong ekonomi di tengah risiko pelemahan global. ’’Pelonggaran diharapkan dapat memperkuat upaya untuk mendorong permintaan domestik. Langkah ini juga bertujuan menjaga stabilitas makroekonomi,’’ ujarnya di gedung BI, Jakarta, kemarin.

Kebijakan penetapan 7-day reverse repo rate sejak bulan lalu mengakibatkan suku bunga deposito turun 100 bps. Namun, suku bunga kredit hanya turun 52 bps. Agus mengakui bahwa permintaan kredit masih relatif lemah. Tetapi, dia menggarisbawahi bahwa kredit dalam rupiah masih tercatat tumbuh. Namun, ada pelemahan yang dipicu turunnya outstanding kredit dalam valas.


Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menyebutkan, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dalam rupiah mencapai 9,8 persen. DPK dalam valas tumbuh minus 9,3 persen. Kredit tumbuh 7,7 persen.
’’Itu (kredit, Red) sebenarnya kalau dilihat dari sisi rupiah 9 persen. Dari sisi valas hanya tumbuh 2 persen. Ini sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi global,’’ katanya.

Figur data itu menunjukkan, korporasi yang memiliki pinjaman dalam bentuk valas menurunkan permintaan kredit. Bahkan, ada yang melunasi pinjaman sebelum jangka waktu. ’’Jadi, permintaan terhadap valas turun,’’ ucapnya.
BI juga tengah mencermati adanya risiko kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL). BI mencatat kenaikan NPL dari posisi 3,18 persen menjadi 3,22 persen. Kenaikan tersebut terjadi karena perbankan mengambil sikap konservatif untuk memulihkan kualitas kredit. ’’Concern kita juga terkait dengan NPL,’’ ungkapnya.

Sementara itu, ekonom Indef Eko Listianto menerangkan bahwa daya dorong bagi pertumbuhan ekonomi seiring penurunan suku bunga acuan belum akan berdampak cukup besar bagi perekonomian. Sebab, pada semester kedua tahun ini sektor riil menghadapi tantangan dari sisi terbatasnya peningkatan permintaan. ’’Perbankan sengaja menurunkan penyaluran kredit karena mengikuti siklus ekonomi yang sedang menurun,’’ terangnya di Jakarta kemarin.
Eko menambahkan, BI perlu lebih berfokus agar 7-day reverse repo rate bisa menjadi suku bunga acuan yang efektif memengaruhi suku bunga perbankan.

Ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI) Akbar Suwardi menyebut penurunan suku bunga acuan sebagai sinyal baik dari bank sentral. Dengan penurunan tersebut, diharapkan permintaan kredit meningkat. Juga, menaikkan ekspektasi bahwa ekonomi ke depan lebih ekspansif sehingga dapat meningkatkan kredit dan akhirnya mendorong perekonomian.

Dia menilai bakal selalu ada jarak waktu penyesuaian dari setiap kebijakan. ’’Mengingat saat ini yang digunakan BI adalah 7-day reverse repo rate yang bertujuan cepat dirasakan market, seharusnya dua hingga tiga bulan sudah dapat dirasakan,’’ paparnya.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan, mengingat masih rendahnya permintaan kredit dan lemahnya daya beli masyarakat, pelonggaran kebijakan moneter diharapkan mampu menjaga momentum pertumbuhan di tengah potensi pemangkasan belanja pemerintah.

’’Tapi, otoritas moneter juga perlu berkoordinasi dengan otoritas fiskal mengingat rencana pemerintah untuk menerbitkan tambahan SUN sebesar Rp 37 triliun yang kemudian berpotensi mengakibatkan kondisi crowding out,’’ katanya.
Selain itu, lanjut Josua, agar lebih optimal dalam menjaga momentum pertumbuhan, khususnya mendorong konsumsi masyarakat, diperlukan koordinasi kebijakan fiskal yang bisa meningkatkan daya beli masyarakat. (dee/ken/c14/sof)

http://www.sumeks.co.id/index.php/sumeks/update-terkini/20146-dorong-konsumsi-dan-permintaan-kredit#sthash.CaZkAexM.dpuf
JAKARTA – Pemulihan konsumsi masyarakat menjadi penting untuk mendorong kembali pertumbuhan ekonomi. Permintaan kredit yang masih berada dalam titik lemah membuat Bank Indonesia (BI) perlu kembali melonggarkan kebijakan moneter.
Bank sentral kemarin (22/9) memangkas suku bunga acuan 25 basis point dari 5,25 persen menjadi 5 persen. Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo menyatakan bahwa BI perlu mendorong ekonomi di tengah risiko pelemahan global. ’’Pelonggaran diharapkan dapat memperkuat upaya untuk mendorong permintaan domestik. Langkah ini juga bertujuan menjaga stabilitas makroekonomi,’’ ujarnya di gedung BI, Jakarta, kemarin.
Kebijakan penetapan 7-day reverse repo rate sejak bulan lalu mengakibatkan suku bunga deposito turun 100 bps. Namun, suku bunga kredit hanya turun 52 bps. Agus mengakui bahwa permintaan kredit masih relatif lemah. Tetapi, dia menggarisbawahi bahwa kredit dalam rupiah masih tercatat tumbuh. Namun, ada pelemahan yang dipicu turunnya outstanding kredit dalam valas.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menyebutkan, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dalam rupiah mencapai 9,8 persen. DPK dalam valas tumbuh minus 9,3 persen. Kredit tumbuh 7,7 persen. ’’Itu (kredit, Red) sebenarnya kalau dilihat dari sisi rupiah 9 persen. Dari sisi valas hanya tumbuh 2 persen. Ini sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi global,’’ katanya.
Figur data itu menunjukkan, korporasi yang memiliki pinjaman dalam bentuk valas menurunkan permintaan kredit. Bahkan, ada yang melunasi pinjaman sebelum jangka waktu. ’’Jadi, permintaan terhadap valas turun,’’ ucapnya.
BI juga tengah mencermati adanya risiko kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL). BI mencatat kenaikan NPL dari posisi 3,18 persen menjadi 3,22 persen. Kenaikan tersebut terjadi karena perbankan mengambil sikap konservatif untuk memulihkan kualitas kredit. ’’Concern kita juga terkait dengan NPL,’’ ungkapnya.

Sementara itu, ekonom Indef Eko Listianto menerangkan bahwa daya dorong bagi pertumbuhan ekonomi seiring penurunan suku bunga acuan belum akan berdampak cukup besar bagi perekonomian. Sebab, pada semester kedua tahun ini sektor riil menghadapi tantangan dari sisi terbatasnya peningkatan permintaan. ’’Perbankan sengaja menurunkan penyaluran kredit karena mengikuti siklus ekonomi yang sedang menurun,’’ terangnya di Jakarta kemarin.
Eko menambahkan, BI perlu lebih berfokus agar 7-day reverse repo rate bisa menjadi suku bunga acuan yang efektif memengaruhi suku bunga perbankan.
Ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI) Akbar Suwardi menyebut penurunan suku bunga acuan sebagai sinyal baik dari bank sentral. Dengan penurunan tersebut, diharapkan permintaan kredit meningkat. Juga, menaikkan ekspektasi bahwa ekonomi ke depan lebih ekspansif sehingga dapat meningkatkan kredit dan akhirnya mendorong perekonomian.
Dia menilai bakal selalu ada jarak waktu penyesuaian dari setiap kebijakan. ’’Mengingat saat ini yang digunakan BI adalah 7-day reverse repo rate yang bertujuan cepat dirasakan market, seharusnya dua hingga tiga bulan sudah dapat dirasakan,’’ paparnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan, mengingat masih rendahnya permintaan kredit dan lemahnya daya beli masyarakat, pelonggaran kebijakan moneter diharapkan mampu menjaga momentum pertumbuhan di tengah potensi pemangkasan belanja pemerintah.
’’Tapi, otoritas moneter juga perlu berkoordinasi dengan otoritas fiskal mengingat rencana pemerintah untuk menerbitkan tambahan SUN sebesar Rp 37 triliun yang kemudian berpotensi mengakibatkan kondisi crowding out,’’ katanya.
Selain itu, lanjut Josua, agar lebih optimal dalam menjaga momentum pertumbuhan, khususnya mendorong konsumsi masyarakat, diperlukan koordinasi kebijakan fiskal yang bisa meningkatkan daya beli masyarakat. (dee/ken/c14/sof) - See more at: http://www.sumeks.co.id/index.php/sumeks/update-terkini/20146-dorong-konsumsi-dan-permintaan-kredit#sthash.CaZkAexM.dpuf
JAKARTA – Pemulihan konsumsi masyarakat menjadi penting untuk mendorong kembali pertumbuhan ekonomi. Permintaan kredit yang masih berada dalam titik lemah membuat Bank Indonesia (BI) perlu kembali melonggarkan kebijakan moneter.
Bank sentral kemarin (22/9) memangkas suku bunga acuan 25 basis point dari 5,25 persen menjadi 5 persen. Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo menyatakan bahwa BI perlu mendorong ekonomi di tengah risiko pelemahan global. ’’Pelonggaran diharapkan dapat memperkuat upaya untuk mendorong permintaan domestik. Langkah ini juga bertujuan menjaga stabilitas makroekonomi,’’ ujarnya di gedung BI, Jakarta, kemarin.
Kebijakan penetapan 7-day reverse repo rate sejak bulan lalu mengakibatkan suku bunga deposito turun 100 bps. Namun, suku bunga kredit hanya turun 52 bps. Agus mengakui bahwa permintaan kredit masih relatif lemah. Tetapi, dia menggarisbawahi bahwa kredit dalam rupiah masih tercatat tumbuh. Namun, ada pelemahan yang dipicu turunnya outstanding kredit dalam valas.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menyebutkan, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dalam rupiah mencapai 9,8 persen. DPK dalam valas tumbuh minus 9,3 persen. Kredit tumbuh 7,7 persen. ’’Itu (kredit, Red) sebenarnya kalau dilihat dari sisi rupiah 9 persen. Dari sisi valas hanya tumbuh 2 persen. Ini sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi global,’’ katanya.
Figur data itu menunjukkan, korporasi yang memiliki pinjaman dalam bentuk valas menurunkan permintaan kredit. Bahkan, ada yang melunasi pinjaman sebelum jangka waktu. ’’Jadi, permintaan terhadap valas turun,’’ ucapnya.
BI juga tengah mencermati adanya risiko kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL). BI mencatat kenaikan NPL dari posisi 3,18 persen menjadi 3,22 persen. Kenaikan tersebut terjadi karena perbankan mengambil sikap konservatif untuk memulihkan kualitas kredit. ’’Concern kita juga terkait dengan NPL,’’ ungkapnya.

Sementara itu, ekonom Indef Eko Listianto menerangkan bahwa daya dorong bagi pertumbuhan ekonomi seiring penurunan suku bunga acuan belum akan berdampak cukup besar bagi perekonomian. Sebab, pada semester kedua tahun ini sektor riil menghadapi tantangan dari sisi terbatasnya peningkatan permintaan. ’’Perbankan sengaja menurunkan penyaluran kredit karena mengikuti siklus ekonomi yang sedang menurun,’’ terangnya di Jakarta kemarin.
Eko menambahkan, BI perlu lebih berfokus agar 7-day reverse repo rate bisa menjadi suku bunga acuan yang efektif memengaruhi suku bunga perbankan.
Ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI) Akbar Suwardi menyebut penurunan suku bunga acuan sebagai sinyal baik dari bank sentral. Dengan penurunan tersebut, diharapkan permintaan kredit meningkat. Juga, menaikkan ekspektasi bahwa ekonomi ke depan lebih ekspansif sehingga dapat meningkatkan kredit dan akhirnya mendorong perekonomian.
Dia menilai bakal selalu ada jarak waktu penyesuaian dari setiap kebijakan. ’’Mengingat saat ini yang digunakan BI adalah 7-day reverse repo rate yang bertujuan cepat dirasakan market, seharusnya dua hingga tiga bulan sudah dapat dirasakan,’’ paparnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan, mengingat masih rendahnya permintaan kredit dan lemahnya daya beli masyarakat, pelonggaran kebijakan moneter diharapkan mampu menjaga momentum pertumbuhan di tengah potensi pemangkasan belanja pemerintah.
’’Tapi, otoritas moneter juga perlu berkoordinasi dengan otoritas fiskal mengingat rencana pemerintah untuk menerbitkan tambahan SUN sebesar Rp 37 triliun yang kemudian berpotensi mengakibatkan kondisi crowding out,’’ katanya.
Selain itu, lanjut Josua, agar lebih optimal dalam menjaga momentum pertumbuhan, khususnya mendorong konsumsi masyarakat, diperlukan koordinasi kebijakan fiskal yang bisa meningkatkan daya beli masyarakat. (dee/ken/c14/sof) - See more at: http://www.sumeks.co.id/index.php/sumeks/update-terkini/20146-dorong-konsumsi-dan-permintaan-kredit#sthash.CaZkAexM.dpuf
JAKARTA – Pemulihan konsumsi masyarakat menjadi penting untuk mendorong kembali pertumbuhan ekonomi. Permintaan kredit yang masih berada dalam titik lemah membuat Bank Indonesia (BI) perlu kembali melonggarkan kebijakan moneter.
Bank sentral kemarin (22/9) memangkas suku bunga acuan 25 basis point dari 5,25 persen menjadi 5 persen. Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo menyatakan bahwa BI perlu mendorong ekonomi di tengah risiko pelemahan global. ’’Pelonggaran diharapkan dapat memperkuat upaya untuk mendorong permintaan domestik. Langkah ini juga bertujuan menjaga stabilitas makroekonomi,’’ ujarnya di gedung BI, Jakarta, kemarin.
Kebijakan penetapan 7-day reverse repo rate sejak bulan lalu mengakibatkan suku bunga deposito turun 100 bps. Namun, suku bunga kredit hanya turun 52 bps. Agus mengakui bahwa permintaan kredit masih relatif lemah. Tetapi, dia menggarisbawahi bahwa kredit dalam rupiah masih tercatat tumbuh. Namun, ada pelemahan yang dipicu turunnya outstanding kredit dalam valas.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menyebutkan, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dalam rupiah mencapai 9,8 persen. DPK dalam valas tumbuh minus 9,3 persen. Kredit tumbuh 7,7 persen. ’’Itu (kredit, Red) sebenarnya kalau dilihat dari sisi rupiah 9 persen. Dari sisi valas hanya tumbuh 2 persen. Ini sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi global,’’ katanya.
Figur data itu menunjukkan, korporasi yang memiliki pinjaman dalam bentuk valas menurunkan permintaan kredit. Bahkan, ada yang melunasi pinjaman sebelum jangka waktu. ’’Jadi, permintaan terhadap valas turun,’’ ucapnya.
BI juga tengah mencermati adanya risiko kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL). BI mencatat kenaikan NPL dari posisi 3,18 persen menjadi 3,22 persen. Kenaikan tersebut terjadi karena perbankan mengambil sikap konservatif untuk memulihkan kualitas kredit. ’’Concern kita juga terkait dengan NPL,’’ ungkapnya.

Sementara itu, ekonom Indef Eko Listianto menerangkan bahwa daya dorong bagi pertumbuhan ekonomi seiring penurunan suku bunga acuan belum akan berdampak cukup besar bagi perekonomian. Sebab, pada semester kedua tahun ini sektor riil menghadapi tantangan dari sisi terbatasnya peningkatan permintaan. ’’Perbankan sengaja menurunkan penyaluran kredit karena mengikuti siklus ekonomi yang sedang menurun,’’ terangnya di Jakarta kemarin.
Eko menambahkan, BI perlu lebih berfokus agar 7-day reverse repo rate bisa menjadi suku bunga acuan yang efektif memengaruhi suku bunga perbankan.
Ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI) Akbar Suwardi menyebut penurunan suku bunga acuan sebagai sinyal baik dari bank sentral. Dengan penurunan tersebut, diharapkan permintaan kredit meningkat. Juga, menaikkan ekspektasi bahwa ekonomi ke depan lebih ekspansif sehingga dapat meningkatkan kredit dan akhirnya mendorong perekonomian.
Dia menilai bakal selalu ada jarak waktu penyesuaian dari setiap kebijakan. ’’Mengingat saat ini yang digunakan BI adalah 7-day reverse repo rate yang bertujuan cepat dirasakan market, seharusnya dua hingga tiga bulan sudah dapat dirasakan,’’ paparnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan, mengingat masih rendahnya permintaan kredit dan lemahnya daya beli masyarakat, pelonggaran kebijakan moneter diharapkan mampu menjaga momentum pertumbuhan di tengah potensi pemangkasan belanja pemerintah.
’’Tapi, otoritas moneter juga perlu berkoordinasi dengan otoritas fiskal mengingat rencana pemerintah untuk menerbitkan tambahan SUN sebesar Rp 37 triliun yang kemudian berpotensi mengakibatkan kondisi crowding out,’’ katanya.
Selain itu, lanjut Josua, agar lebih optimal dalam menjaga momentum pertumbuhan, khususnya mendorong konsumsi masyarakat, diperlukan koordinasi kebijakan fiskal yang bisa meningkatkan daya beli masyarakat. (dee/ken/c14/sof) - See more at: http://www.sumeks.co.id/index.php/sumeks/update-terkini/20146-dorong-konsumsi-dan-permintaan-kredit#sthash.CaZkAexM.dpuf
JAKARTA – Pemulihan konsumsi masyarakat menjadi penting untuk mendorong kembali pertumbuhan ekonomi. Permintaan kredit yang masih berada dalam titik lemah membuat Bank Indonesia (BI) perlu kembali melonggarkan kebijakan moneter.
Bank sentral kemarin (22/9) memangkas suku bunga acuan 25 basis point dari 5,25 persen menjadi 5 persen. Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo menyatakan bahwa BI perlu mendorong ekonomi di tengah risiko pelemahan global. ’’Pelonggaran diharapkan dapat memperkuat upaya untuk mendorong permintaan domestik. Langkah ini juga bertujuan menjaga stabilitas makroekonomi,’’ ujarnya di gedung BI, Jakarta, kemarin.
Kebijakan penetapan 7-day reverse repo rate sejak bulan lalu mengakibatkan suku bunga deposito turun 100 bps. Namun, suku bunga kredit hanya turun 52 bps. Agus mengakui bahwa permintaan kredit masih relatif lemah. Tetapi, dia menggarisbawahi bahwa kredit dalam rupiah masih tercatat tumbuh. Namun, ada pelemahan yang dipicu turunnya outstanding kredit dalam valas.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menyebutkan, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dalam rupiah mencapai 9,8 persen. DPK dalam valas tumbuh minus 9,3 persen. Kredit tumbuh 7,7 persen. ’’Itu (kredit, Red) sebenarnya kalau dilihat dari sisi rupiah 9 persen. Dari sisi valas hanya tumbuh 2 persen. Ini sangat erat kaitannya dengan kondisi ekonomi global,’’ katanya.
Figur data itu menunjukkan, korporasi yang memiliki pinjaman dalam bentuk valas menurunkan permintaan kredit. Bahkan, ada yang melunasi pinjaman sebelum jangka waktu. ’’Jadi, permintaan terhadap valas turun,’’ ucapnya.
BI juga tengah mencermati adanya risiko kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL). BI mencatat kenaikan NPL dari posisi 3,18 persen menjadi 3,22 persen. Kenaikan tersebut terjadi karena perbankan mengambil sikap konservatif untuk memulihkan kualitas kredit. ’’Concern kita juga terkait dengan NPL,’’ ungkapnya.

Sementara itu, ekonom Indef Eko Listianto menerangkan bahwa daya dorong bagi pertumbuhan ekonomi seiring penurunan suku bunga acuan belum akan berdampak cukup besar bagi perekonomian. Sebab, pada semester kedua tahun ini sektor riil menghadapi tantangan dari sisi terbatasnya peningkatan permintaan. ’’Perbankan sengaja menurunkan penyaluran kredit karena mengikuti siklus ekonomi yang sedang menurun,’’ terangnya di Jakarta kemarin.
Eko menambahkan, BI perlu lebih berfokus agar 7-day reverse repo rate bisa menjadi suku bunga acuan yang efektif memengaruhi suku bunga perbankan.
Ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI) Akbar Suwardi menyebut penurunan suku bunga acuan sebagai sinyal baik dari bank sentral. Dengan penurunan tersebut, diharapkan permintaan kredit meningkat. Juga, menaikkan ekspektasi bahwa ekonomi ke depan lebih ekspansif sehingga dapat meningkatkan kredit dan akhirnya mendorong perekonomian.
Dia menilai bakal selalu ada jarak waktu penyesuaian dari setiap kebijakan. ’’Mengingat saat ini yang digunakan BI adalah 7-day reverse repo rate yang bertujuan cepat dirasakan market, seharusnya dua hingga tiga bulan sudah dapat dirasakan,’’ paparnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan, mengingat masih rendahnya permintaan kredit dan lemahnya daya beli masyarakat, pelonggaran kebijakan moneter diharapkan mampu menjaga momentum pertumbuhan di tengah potensi pemangkasan belanja pemerintah.
’’Tapi, otoritas moneter juga perlu berkoordinasi dengan otoritas fiskal mengingat rencana pemerintah untuk menerbitkan tambahan SUN sebesar Rp 37 triliun yang kemudian berpotensi mengakibatkan kondisi crowding out,’’ katanya.
Selain itu, lanjut Josua, agar lebih optimal dalam menjaga momentum pertumbuhan, khususnya mendorong konsumsi masyarakat, diperlukan koordinasi kebijakan fiskal yang bisa meningkatkan daya beli masyarakat. (dee/ken/c14/sof) - See more at: http://www.sumeks.co.id/index.php/sumeks/update-terkini/20146-dorong-konsumsi-dan-permintaan-kredit#sthash.CaZkAexM.dpuf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Linear Probability Model (LPM), Logit Model, dan Probit Model (Normit Model) dengan STATA (2011)

Random Effect Model (REM)

Pooled Least Square (PLS)