Meyelamatkan Daya Beli Masyarakat

Oleh Akbar Suwardi
( Ekonom Perbankan ) 

 Berdasarkan survei konsumen yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI), Indeks keyakinan konsumen (IKK) Juni 2015 tercatat 111,3 poin atau turun 1,5 poin dibanding bulan Mei. Namun, dengan tingkat IKK diatas level 100 poin menandakan bahwa keyakinan konsumen pada bulan Juni masih berada pada level optimis. Pelemahan IKK dikarenakan pelemahan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang masing-masing mengalami penurunan sebesar 2,3 poin dan 0,5 poin dari bulan sebelumnya.

Menurunnya tingkat keyakinan konsumen merupakan salah satu indikator menurunnya tingkat konsumsi karena masyarakat akan cenderung menunda pengeluarannya. Hal tersebut juga tercermin pada rata-rata besarnya pendapatan konsumen yang digunakan untuk konsumsi (average prospensity to consume) tercatat menurun sebesar 0,6% dari bulan sebelumnya menjadi 67,1%. Sebaliknya, konsumen terindikasi berusaha meningkatkan simpanannnya untuk berjaga-jaga yang tercermin dari meningkatnya porsi tabungan terhadap pendapatan (saving to income rasio) sebesar 0,4% menjadi 19,7%
Hasil survei IKK menjadi penting saat ini karena nilai Produk Domestik Bruto (PDB) 2014 berdasarkan pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan pengeluaran paling besar menyumbang PDB yaitu sebesar 55%, sedangkan pengeluaran pemerintah dan investasi masing-masing sebesar 7,56%, dan 24,72%. Komposisi tersebut sudah terjadi sejak lama dan umum terjadi pada negara-negara, seperti Amerika Serikat pengeluaran konsumsi dapat menyumbang 60% lebih terhadap PDB.

Ditengah melemahnya pertumbuhan ekspor dan realisasi investasi mendorong tingkat konsumsi dapat menjadi andalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik, oleh karena itu tingkat konsumsi harus dijaga kalau bisa ditingkatkan.

Dengan menjaga tingkat konsumsi terbukti dapat menahan laju perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 di tengah melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia akibat krisis di Amerika Serikat dan Eropa. Tercatat tingkat tingkat pertumbuhan konsumsi pada tahun 2009 mencapai 6,2% atau lebih besar dari pada tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar  4,6%.  

Namun, perlu disadari tingkat konsumsi selama ini tidak terlepas dari besarnya subsidi langsung yang diberikan oleh Pemerintah atas beberapa barang komoditas yang dapat langsung dipakai seperti BBM, Listrik, dan Gas.

Subsidi yang dilakukan oleh pemerintah ke BBM, Listrik, dan Gas tanpa adanya restriction to consume kepada yang tidak berhak menerima terbukti mampu mendorong daya beli masyarakat karena dapat mengalokasikan pendapatannya ke produk diluar kebutuhan pokok atau yang sifatnya sekunder dan tersier, seperti smartphone, kendaraan pribadi, pakaian, tas dan lainnya.

Perubahan secara signfikan yang dilakukan oleh pemerintahan baru dengan menaikkan harga BBM bersubsidi pada akhir tahun 2014 dan dilanjutkan dengan memangkas alokasi belanja subsidi energi, dari APBN 2015 sebesar Rp.344,7 triliun menjadi Rp.137,8 triliun pada APBN-P 2015, secara langsung menekan daya beli masyarakat.

Solusi Meningkatkan Daya Beli
Kondisi pelemahan daya beli harus dicermati dengan baik karena membiarkan tren penurunan daya beli terus terjadi dan tidak diantisipasi dengan tepat dapat memperpanjang siklus pelemahan pertumbuhan ekonomi domestik. Terdapat beberapa solusi jangka pendek yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat, diantaranya:

(1). Menstabilkan harga. Hal ini bisa dilakukan dengan dua kebijakan, Pertama menunda kenaikan harga-harga barang administered price, seperti tarif listrik, LPG, dan BBM, yang telah direncanankan sebelumnya sampai kondisi daya beli stabil kembali. Kedua, memastikan harga-harga barang volaltile price, seperti beras, cabai, telur dan barang sembako lainnya, terjaga dengan cara memastikan supply yang cukup, jalur logistik berjalan dengan baik, serta gencar menjalankan operasi pasar.

(2). Relaksaksi kebijakan moneter. Ditengah ketidakpastian global yang terus menekan nilai tukar rupiah dan besarnya defisit neraca perdagangan akibat melemahnya harga komoditas, menahan BI-rate di level saat ini memang merupakan suatu solusi jangka pendek yang dapat dilakukan oleh BI. Sebaliknya dengan relaksasi moneter yang terukur dapat mendorong daya beli masyarakat.

Perlahan tapi pasti tingginya nilai BI-rate dapat menggiring tingkat pertumbuhan kredit perbankan di tahun 2015 terus menurun hingga menuju tingkat pertumbuhan kredit di tahun 2009 yang sebesar 10,1%. Lebih lanjut bila dilihat pada tahun 2009 kredit konsumtif masih mampu untuk tumbuh di 19%, namun pada bulan Mei 2015 saja pertumbuhan kredit konsumtif sudah menurun hanya sebesar 11,9%. Apabila kondisi tersebut terus terjadi sangat berat bagi pertumbuhan di tahun 2015 lebih tinggi dari pada tahun 2014.

(3). Realisasi anggaran secepatnya, baik pusat maupun daerah. Hingga semester 1, belanja modal yang dialokasikan untuk pembangunan berbagai infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, pembangkit listrik, waduk, irigasi, dan lainnya, baru terealisasi kurang dari 10%. Untuk mendorong pertumbuhan dan daya beli masyarakat, Pemerintah harus berkerja cepat dengan waktu yang tersisa 6 bulan dengan target realisasi anggaran 10-15% perbulan.

Disisi lain, terlepas dari akan diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah serentak Pada Akhir Tahun 2015, Pemerintah Daerah (pemda) harus didorong untuk segera mencairkan anggaranya pada triwulan III, sehingga dana yang telah ditransfer oleh Pemerintah Pusat tidak menumpuk dan diharapkan adanya perputaran uang yang dapat mendorong daya beli masyarakat di daerah.

* Telah diterbitkan oleh Koran Kontan, Kamis, 09 Juli 2015.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Linear Probability Model (LPM), Logit Model, dan Probit Model (Normit Model) dengan STATA (2011)

Random Effect Model (REM)

Ordinary Least Square (OLS) dengan STATA (2011)