Obligasi: Tetap optimistis di tengah tekanan

Oleh Akbar Suwardi
( Ekonom Perbankan )

Kontan_Obligasi_Akbar SuwardiDengan penurunan BI-rate dan terkendalinya tingkat inflasi, yield (imbal hasil) obligasi di Indonesia ikut menurun di awal tahun. Berdasarkan data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), penurunan yield obligasi pemerintah untuk tenor 10 tahun di akhir bulan April sebesar 12,8% (ytd) dari 8,93% menjadi 7,71%.
Penurunan yield tersebut otomatis akan meningkatkan harga dari obligasi sehingga dapat dikatakan pasar obligasi Indonesia di awal tahun bullish.
Namun, kondisi bullish tersebut tidak dilanjutkan di bulan Mei. Banyak sentimen negatif yang menyebabkan kondisi itu. Sentimen dari domestik dimulai pada awal Mei, yakni pengumuman tingkat pertumbuhan ekonomi kuartal I-2016 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Realisasi pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2016 hanya sebesar 4,92% atau berada di bawah ekspektasi sebesar 5,05%. Kondisi itu menekan pasar obligasi Indonesia, tercatat yield obligasi 10 tahun pemerintah sempat naik hingga sekitar 7,8%.
Sentimen negatif dari internasional dimulai pada pertengahan Mei yakni rilisnya risalah rapat FOMC yang menginformasikan bahwa bank sentral Amerika Serikat membuka peluang kenaikan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) ke kisaran 0,50%-0,75% pada bulan Juni 2016. Kondisi tersebut membuat spekulasi kenaikan FFR kembali menguat setelah sebelumnya menghilang pada Desember 2015.
Sentimen ini kembali menekan pasar obligasi Indonesia karena sempat membuat nilai yield obligasi 10 tahun pemerintah naik hingga sekitar 7,9%.
Di satu sisi, penguatan spekulasi kenaikan FFR membuat nilai mata uang dollar AS menguat terhadap mata uang negara lainnya, termasuk rupiah. Tercatat depresiasi rupiah terhadap dollar AS sebesar -3,6% atau dari Rp 13.180/dollar AS menjadi Rp 13.648/ dollar AS di akhir bulan Mei.
Disamping itu, spekulasi kenaikan FFR akan berpotensi tertahannya BI-rate di level 6,75% hingga September 2016. Padahal, sebelumnya BI-rate telah turun tiga kali di awal tahun.
Bagi investor obligasi, tingkat suku bunga dan inflasi (ekspektasi inflasi) menjadi indikator utama dalam mempengaruhi tingkat yield dan nilai price sebuah obligasi. Selain itu, dalam jangka pendek kondisi nilai tukar rupiah juga menjadi indikator yang harus diperhatikan karena dapat juga mempengaruhi suku bunga dan inflasi (ekspektasi inflasi).
Tahun 2016 BI-rate dan inflasi akan lebih akomodatif untuk pasar obligasi. Diperkirakan di tahun 2016, rata-rata inflasi di bawah 4% sedangkan rata-rata BI-rate sekitar 6,75%.
Kondisi tersebut jauh lebih baik dari pada di tahun 2015 dimana tingkat infllasi rata-rata mencapai 6,38% sedangkan BI-rate rata-rata sebesar 7,52%. Dari sisi nilai tukar, tekanan terhadap rupiah akan berkurang setelah ada kepastian kenaikan FFR di Juni. Setidaknya rupiah akan bergerak di bawah Rp 13.800.
Tetap optimistis
Menimbang semua indikator tersebut, yield obligasi pemerintah untuk tenor 10 tahun sangat memungkinkan kembali turun setidaknya di level yang sama sebelum ada rilis FOMC sekitar 7,6%.
Dari sisi volume, di tahun 2016 rencana penerbitan obligasi pemerintah lebih besar dari tahun 2015. Berdasarkan Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemkeu bulan Mei 2016, secara bruto rencana pemerintah menerbitkan obligasi di tahun 2016 sebesar Rp 555,7 triliun, sedangkan tahun 2015, realisasi penerbitan obligasi Rp 5.032,6 triliun.
Disamping itu, karena pemerintah menerapkan strategi front loading, realisasi obligasi di tahun 2016 berjalan cepat. Tercatat sepanjang kuartal II-2016, pemerintah telah menerbitkan SBN melalui lelang senilai Rp 62,25 triliun atau setara 58,82% dari target penerbitan SBN melalui lelang pada kuartal II-2016 yang mencapai Rp 106 triliun.
Selain besarnya volume obligasi pemerintah di tahun 2016, obligasi pasar domestik masih akan diramaikan penerbitan obligasi korporasi. Dari informasi yang didapat, setidaknya sekitar Rp 42,58 triliun surat utang siap diterbitkan dalam waktu dekat.
Meskipun saat ini pasar obligasi sedang mengalami tekanan, namun pasar obligasi Indonesia di 2016 akan mengalami bullish. Investor bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada 2015.
Di sisi lain, kondisi bullish di pasar obligasi dan penurunan yield bagi korporasi dan pemerintah juga menurunkan biaya. Kondisi itu diharapkan mendorong investasi, produksi, hingga konsumsi yang nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

-00-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Linear Probability Model (LPM), Logit Model, dan Probit Model (Normit Model) dengan STATA (2011)

Random Effect Model (REM)

Ordinary Least Square (OLS) dengan STATA (2011)