APBN-P 2015: Optimis atau Ambisius?
Oleh Akbar Suwardi
( Ekonom Perbankan )
Ditengah melemahnya kondisi perekonomian Indonesia, APBNP 2015 yang ditetapkan oleh pemerintah menargetkan pendapatan pajak sebesar Rp.1.489,3 trilun atau meningkat sebesar 20% bila dibandingkan dengan target pajak di APBNP 2014 yang sebesar Rp.1.246,1 triliun. Disisi lain, bila dibandingkan dengan realisasi pajak tahun 2014 yang hanya mencapai sebesar 91,7% dari APBNP 2014, maka target pajak pada APBNP 2015 tersebut meningkat 30%. Lalu apakah target pajak dalam APBNP 2015 realistis dapat tercapai?
Ditengah melemahnya kondisi perekonomian Indonesia, APBNP 2015 yang ditetapkan oleh pemerintah menargetkan pendapatan pajak sebesar Rp.1.489,3 trilun atau meningkat sebesar 20% bila dibandingkan dengan target pajak di APBNP 2014 yang sebesar Rp.1.246,1 triliun. Disisi lain, bila dibandingkan dengan realisasi pajak tahun 2014 yang hanya mencapai sebesar 91,7% dari APBNP 2014, maka target pajak pada APBNP 2015 tersebut meningkat 30%. Lalu apakah target pajak dalam APBNP 2015 realistis dapat tercapai?
Secara
historis pertumbuhan nilai realisasi pajak pernah mencapai 20,8% di tahun 2011
dengan kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat tumbuh sebesar 6,49%. Namun
sebaliknya, pada saat kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia turun di tahun 2009
hingga hanya mencatat sebesar 4,58% nilai realisasi pajak mengalami penurunan hingga
5,9% terhadap tahun 2008. Sama halnya dengan tahun 2014, akibat kondisi
perekonomian yang menurun, terutama pada
sektor industri pengolahan, sektor pertambangan, pelemahan impor, dan pelamahan
nilai komoditas ekspor, realisasi pajak tahun 2014 hanya tumbuh 6% bila
dibandingkan dengan realisasi pajak tahun 2013. Kondisi perekonomian di tahun
2015 diperkirakan tidak berbeda jauh dengan kondisi 2014 sehingga menargetkan
pajak tumbuh hingga 30% masih terlalu tinggi.
Apa bila
dilihat tax ratio Indonesia pada
tahun 2014 tercatat masih rendah atau hanya mencapai sekitar 12% terhadap PDB,
bahkan dengan menggunakan PDB tahun dasar 2010 tax ratio terhadap PDB semakin kecil yaitu sekitar 11%. Dengan
melihat kondisi tersebut memang potensi untuk meningkatkan pajak masih sangatlah
besar terlebih lagi masih besarnya
pekerja yang belum terdaftar sebagai wajib pajak. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan tax ratio 1,5-2,5% masih
sangat memungkinkan, namun apakah hal tersebut dapat dilakukan dalam waktu satu
tahun?. Jangan sampai demi mengejar target pajak yang sangat tinggi pemerintah malah
menambah beban di sektor rill atau pelaku usaha ditengah kenaikan BBM, Listrik,
dan Gas.
Defisit Anggaran
Pada
dasarnya mengelola defisit anggaran merupakan salah satu indikator penilaian
kinerja sebuah pemerintahan. Dengan defisit anggaran yang terkendali akan
mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peran investasi pemerintah dan terjaganya
kondisi stabilitas makroekonomi. Sebaliknya, apabila defisit tidak dikelola
dengan baik maka dapat menekan investasi pemerintah dan mendorong penarikan
pembiayan hutang luar negeri yang kedua hal tersebut secara bersamaan dapat merusak
kondisi stabilitas makroekonomi dalam negeri.
Defisit
anggaran pada tahun 2014 tercatat sebesar 2,26% atau dibawah dari target APBNP
2014 yang sebesar 2,4%. Kondisi tersebut dapat dikatakan baik karena defisit
anggaran dapat dikelola dibawah target yang ditetapkan dan masih jauh dibawah
batas atas defisit yang sebesar 3%. Sementara itu, pada APBN P 2015 defisit ditargetkan
sebesar 1,9%. Namun, apabila target pajak hanya tercapai 90% dapat dipastikan
bahwa target defisit tersebut akan terlampaui.
Salah satu
alternatif yang akan dilakukan pemerintah untuk menutupi defisit adalah menerbitkan
Surat Berharga Negara (SBN). Pada APBNP 2015, rencana SBN yang akan diterbitkan
sebesar Rp.297 triliun. Namun apabila target pajak tidak tercapai, misal hanya
90%, maka besarnya SBN diperkirakan akan membengkak hingga tembus Rp.500 triliun. Bagi perbankan nasional yang
saat ini masih dalam tekanan likuiditas, akibat potensi kenaikan suku bunga
bank sentral Amerika yang diprediksikan akan mendorong capital reversal, maka penerbitan SBN yang terlalu besar
diperkirakan akan menambah ketat likuiditas perbankan nasional.
Perlu Revisi APBNP 2015?
Melihat
target pajak yang terlalu besar di APBNP 2015, target pertumbuhan yang mencapai
30% bila dibandingkan dengan realisasi pajak 2014, yang kemungkinan sangat
sulit tercapai maka perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk melakukan revisi
terhadap APBNP 2015. Tentu saja hal tersebut dapat memberikan persepsi yang
positif dan negatif oleh pasar. Dampak negatifnya pemerintah akan dinilai oleh
pasar tidak cukup baik dalam menyusun anggaran belanjanya terutama ditengah
kondisi pelemahan ekonomi ini, namun menargetkan peningkatan pajak yang tinggi.
Dampak positifnya,
pemerintah akan dinilai oleh pasar mau memperbaiki atas sebuah kebijakan yang
kurang pas. Jauh setelah itu pengaruhnya pemerintah dinilai oleh pasar tidak
lagi terlalu ambisius dalam mengejar pajak yang sangat kontra dengan kondisi
perekonomian yang sedang melemah saat ini. Sehingga kondisi sektor rill tidak
akan terganggu, baik pelaku usaha maupun di kalangan perbankan.
Revisi
APBNP 2015 bisa saja tidak perlu dilakukan. Dengan kondisi kementerian yang mendapatkan pertumbuhan anggaran yang sangat besar, seperti
Kementerian Perhubungan dan Pekerjaan Umum, tidak berhasil menyerap anggaran yang
telah ditetapkan secara optimal. Sehingga dengan target belanja yang tidak
tercapai dibarengi dengan target pajak yang tidak tercapai (zero sum game) akan membuat target
defisit anggaran tetap terjaga dibawah 2,5%. Namun konsekuensinya penyerapan anggaran pada tahun 2015 akan jauh
lebih kecil bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pada prinsipnya,
upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak atau tax ratio yang bertujuan untuk pembangunan infrastruktur sehingga dapat
menjadi salah satu upaya untuk memperbaiki permasalahan struktural ekonomi dalam
negeri sangatlah didukung. Namun, apabila target peningkatan pajak dilakukan
sangat drastis dalam waktu yang singkat dikhawatirkan akan menganggu kondisi sektor
rill, baik pelaku usaha maupun perbankan.
* Telah diterbitkan oleh Koran Kontan, Kamis, 09 April 2015.
Komentar
Posting Komentar