Optimisme Di Tengah Pandemi

 


Belum genap 5 bulan Covid 19 menjadi Pandemi di Dunia dampak negatif yang ditimbulkan bagi kondisi sosial dan ekonomi sudah sangat terasa. Pandemi Covid membuat kondisi perekonomian Dunia memasuki krisis yang sangat berbeda sumber krisis sebelumnya, yaitu krisis kesehatan. Akibat belum ditemukannya vaksin, saat ini yang bisa dilakukan adalah mencegah atau membatasi pekembangan atas virus tersebut, yaitu dengan cara lock down atau social distancing, karatina, isolasi, dan lainnya.


Berbeda dengan krisis keuangan global tahun 2008 di mana penurunan atas harga properti di Amerika Serikat (AS) dan dunia hanya memukul sisi permintaan. Pada krisis kali ini tidak hanya permintaan yang anjlok tapi juga supply yang turun akibat penghentian sementara waktu aktivitas produksi. Akibatnya akivitas supply chain dan daya beli masyarakat terganggu secara bersamaan sehingga magnitud dari krisis kali ini kemungkinan lebih besar dibandingkan tahun 2008. 


Di beberapa negara yang perekonomianya didominasi oleh sektor jasa atau trade (perdagangan) diproyeksikan akan terdampak paling besar oleh Pandemi ini. Sampai saat ini, negara tetangga, Asean, kondisi perekomiannya sudah mengalami pertumbuhan ekonomi minus seperti Singapura -3,3% (yoy), Thailand -1,8% (yoy), dan Filipina -0,2% (yoy) di kuartal I-2020. Bahkan, Singapura sudah resmi memasuki resesi, pertumbuhan ekonomi minus dalam dua kuartal berturut-turut, dengan tercatatnya pertumbuhan di kuartal II-2020 -12,6% (yoy) dan dapat menjadi resesi terburuk sejak 1965. Untuk Thailand dan Filipina diproyeksikan akan menyusul status resesi saat pengumumaan kondisi ekonomi kuartal II-2020. 


Bagimana dengan Indonesia?


Meskipun belum di-release oleh Bada Pusat Statistik, tingkat pertumbuhan Indonesia Kuartal II-2020, nasibnya diproyeksikan akan sama, yaitu tumbuh negatif. Namun, tingkat penurunannya tidak sedalam Singapura. Kondisi tersebut sudah dapat terlihat dari beberapa indikator sektor rill yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Lembaga lainnya.


Pertama, Survei Penjualan Eceran (SPE) dari BI menjukkan Penjualan ritel pada bulan Mei 2020 kembali merosot yang tercermin dari Indeks Penjualan Rill (IPR) pada bulan tersebut tercatat hanya sebesar 198,3 atau terkontraksi 20,6% (yoy), lebih dalam dari kontraksi April 2020 yang sebesar 16,9% (yoy). Lebih detail lagi, Survei juga menunjukkan penurunan penjualan pada sebagian besar kota disebabkan masih diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah, sehingga penjualan cenderung menurun. Bank Indonesia pun memperkirakan survei penjualan retail bulan Juni 2020 masih akan terkontraksi sebesar 14,0% (yoy)


Kedua, Survei Perbankan Bank Indonesia mengindikasikan pertumbuhan kredit baru pada kuartal II-2020 menurun dari periode sebelumnya, tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) permintaan kredit baru pada kuartal II-2020 sebesar -33,9%, lebih rendah dibandingkan 23,7% pada kuartal sebelumnya dan 78,3% pada kuartal II-2019. Penurunan pertumbuhan kredit baru terjadi pada seluruh jenis kredit, dimana penurunan terbesar pada jenis kredit investasi. Untuk keseluruhan 2020, survei BI mengindikasikan penyaluran kredit perbankan hanya akan tumbuh 2,5% (yoy) atau jauh lebih rendah dibandingkan realisasi 2019 yaitu 6,1%. 


Ketiga, meningkatnya tingkat pengangguran. Sejalan dengan data survei BI, Bappenas memperkirakan tingkat pengangguran terbuka (TPT) menyentuh 8,1-9,2% di 2020 atau naik siginifikan dari posisi 2019 yang sekitar 5,28%. Sejalan dengan hal tersebut, Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) mencatatkan hingga Mei 2020 sudah ada sekitar 6,4 juta pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan yang dirumahkan akibat Covid-19. Keempat, melambatnya pertumbuhan uang kartal. Mei 2020 pertumbuhan uang kartal hanya sebesar 1,4% (yoy), jauh di bawah tahun 2018 dan 2019 yang masing-masing tumbuh 19,7% (yoy) dan 16,4% (yoy). 


Optimisme Di Tengah Pandemi


Dampak negatif akibat Pandemi Covid ini diperkirakan akan berdampak pada waktu yang cukup lama. Banyak faktor yang perlu dipersiapkan oleh semua elemen ekonomi dari Pemerintah, pelaku industri dan masyarakat. Selain itu, dengan melihat beberapa indikator yang menekan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, tentunya sangat perlu membangun optimisme untuk melewati masa-masa pandemi. 


Hal tersebut setidaknya dapat kita lihat bersama, diantaranya: Pemerintah cepat merespon kondisi pandemi. Kebijakan aturan atau stimulus untuk menjaga kesehatan, insentif industri, dan menjaga daya beli masyarakat dengan cepat dikeluarkan oleh Pemerintah. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga bergerak cepat dengan merelaksasi kredit dengan mengeluarkan ketentuan Restrukturisasi bagi terdampak Covid-19 dan Bank Indonesia melakukan quantitative easing dengan membeli Obligasi Pemerintah (SUN), Repo SUN bagi bank yang membutuhkan likuiditas, serta menurunkan sukubunga acuan atau BI7-DRR. 


Disisi lain, Indonesia juga diuntungkan dengan kesiapan Infrastruktur Internet. Meskipun masih banyak kekurangan karena di Tahun 2018 kecepatan internet 4G Indonesia menempati peringkat ke-74 dari 77 negara di seluruh dunia. Pandemi yang mendorong pemberlakukan social distancing sangat terbantu dengan kehadirian Internet sehingga sebagian masyarakat masih dapat melakukan pekerjaan atau akivitas ekonominya dari rumah (working from home) beraktifitas dari rumah (stay at Home), rapat virual dan lainnya. 


Disamping itu, Potensi internet di Indonesia ini masih sangat besar. Sesuai dengan Laporan e-Conomy SEA tahun 2019 yang disusun oleh Google dan Temasek disebutkan bahwa ekonomi Internet Indonesia tumbuh lebih dari lima kali lipat dari USD8 miliar pada 2015 menjadi USD40 miliar pada 2019, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 49%. Di tahun 2025, nilai tersebut berpotensi mencapai USD30 miliar. 


Selain itu, pemberlakuan lock down diberbagai negara yang membuat gangguan supply chain produk barang-barang ekspor dan impor dapat menjadi momentum penggunaan Produk Lokal. Bila sebelumnya, masyarakat terbiasa menggunakan produk (kebutuhan sehari-hari, makanan, dan lainnya) impor, saat ini dapat depenuhi oleh produk lokal. 



Kebijakan substitusi impor bisa menjadi pilihan pemerintah di tengah Covid-19 untuk mempercepat proses industrialiasi yang selama ini terhambat gempuran produk luar negeri. Defisit APBN yang dapat lebih tinggi dari 3% dari PDB selama tiga tahun ke depan dapat menjadi momentum pemerintah untuk mempercepat proses tersebut. Defisit yang besar tiga tahun kedepan harus dimanfaatkan untuk mendorong produktivitas sektor tradable seperti pertanian, tanaman pangan, perternakan serta sektor industri olahan. 


Pemerintah bisa fokus tiga tahun kedepan untuk menambah subsidi pertanian dan menambah luas lahan pertanian. Selain itu pemerintah harus fokus untuk menambah nilai guna hasi produksi pertanian, perikanan, dan pertambangan dengan bekerjasama dengan berbagai stakeholders seperti perbankan, universitas dan juga kementerian terkait untuk memberikan akses sebesar-besarnya untuk R&D, modal serta kemudahan regulasi. 


Dengan nilai tambah yang tinggi maka industri olahan dapat meningkat produktivitasnya. Sukesenya D100 dari Pertamina di mana 100% bensin dapat diciptakan dari produk turunan CPO dapat ditiru produk-produk turunan pertanian mapun perikanan lainya. Kebijakan-kebijakan serupa D100 harus diperluas sehingga ekonomi Indonesia dapat berubah from zero to hero dalam mengatasi krisis kali ini.  


Karena Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan, begitulah salah satu Hadist Rosullah Muhamad SAW yang terkenal. Banyak sekali peluang kesempatan dalam mengahadi krisis kali ini. Dampak dari Pandemi sudah sangat terasa, solusi atau strategi untuk menghadapi sudah dicoba diterapkan. Seperti yang disampaikan sebelumnnya, kondisi ini diperkirakan berlangsung cukup lama sehingga perlu stamina, yaitu dengan cara menjaga optimisme! 

 

Akbar Suwardi (Praktisi Perbankan), dan

Ahmad Mikail Zaini (Ekonom Samuel Sekuritas)

(tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili tempat penulis bekerja)



 


-00-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Random Effect Model (REM)

Linear Probability Model (LPM), Logit Model, dan Probit Model (Normit Model) dengan STATA (2011)

Pooled Least Square (PLS)