Likuiditas Ketat dan Tantangan Pertumbuhan Perbankan


 

Sejak Juli 2018, tingkat rasio pinjaman terhadap simpanan (Loan to Deposit Rasio/LDR) Perbankan konsisten di atas level 93 persen. Bahkan pada Agustus 2019 tercatat menembus angka di atas 94 persen. Dengan demikian, hingga akhir tahun 2019, tingkat likuiditas Perbankan diperkirakan masih tetap relatif ketat. Faktor ketatnya likuiditas perbankan, salah satunya juga tercermin dengan masih terbatasnya pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang hanya mencapai 7,62% secara tahunan (year on year/yoy) di Agustus 2019. 


Dengan kondisi tersebut, tentunya membatasi ruang para bankir untuk meningkatkan pertumbuhan kredit sebagaimana diharapkan oleh para stakeholder (pemangku kepentingan). Meskipun demikian, pertumbuhan kredit masih berada di atas pertumbuhan DPK dimana hingga Agustus 2019 pertumbuan kredit perbankan tumbuh sebesar 8,59% (yoy) atau di atas pertumbuhan DPK yang artinya mengerek naik LDR.


Hal ini juga dipengaruhi oleh crowding out effect dimana kebijakan fiskal ekspansif oleh Pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik namun juga berdampak pada melambatnya tingkat pertumbuhan tabungan domestik yang masuk ke dalam sistem perbankan. Hal ini juga tercermin dari pergerakan DPK dan laju pertumbuhan nominal Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2018, jumlah nominal PDB mencapai Rp14.840 triliun atau bertambah sekitar Rp1.250 triliun bila dibandingkan dengan PDB Nominal Tahun 2017 yang sebesar Rp 13.590 triliun. Namun, berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) selama Tahun 2018, nominal DPK Perbankan hanya mampu bertumbuh sekitar Rp341 triliun atau hanya 27,3 persen dari bertambahan Nominal PDB di tahun 2018.


Begitu pula di tahun 2019, dari Januari 2019 hingga Agustus 2019, nominal DPK Perbankan hanya mampu bertumbuh sekitar Rp181 triliun atau tumbuh 3,2 persen (year to date/ytd). Bila di-annualized maka nilainya hanya sekitar Rp371 triliun atau hanya mampu tumbuh sekitar 7 persen (yoy).


Sementara itu, jumlah uang yang beredar di masyarakat tercatat terus meningkat jumlahnya, ini merupakan pekerjaan rumah bagi industri perbankan untuk mengambil ceruk potensi ini. Berdasarkan data Bank Indonesia di dalam Laporan Analisis Uang Beredar Agustus 2019, tercatat jumlah Uang Cash tersebut sebanyak Rp 622 triliun atau naik sekitar 7,0% yoy dibandingkan Agustus 2018.

 

Lalu bagaimana perbankan dapat meningkatkan likuiditas kedepannya? Tentu perbankan butuh terobosan, upaya, inovasi serta program yang lebih untuk menciptakan pertumbuhan DPK sebagai material utama yang akan sangat mempengaruhi pertumbuhan bisnis perbankan secara keseluruhan. 


Berangkat dari potensi yang ada setidaknya penulis merekomendasikan beberapa hal untuk memecahkan permasalahan likuiditas. Pertama, perbankan perlu melakukan literasi dan penetrasi ke ceruk masyarakat di tempat-tempat perputaran uang dengan program-program less cash society untuk menarik lebih banyak lagi uang ke rekening perbankan. Kehadiran uang elektronik dalam layanan masyarakat (public service) seperti halnya jalan tol, transportasi umum, dan lainnya dapat menarik dana tersebut ke dalam sistem perbankan. Disamping itu, kehadiran perusahaan-perusahaan inovatif berbasis teknologi finansial (fintech) serta e-dagang (e-commerce) dapat memperdalam inklusi keuangan (financial inclusion). Lebih dari itu, perbankan sendiri tidak boleh ketinggalan dalam menciptakan inovasi produk dengan layanan berbasis digital untuk dapat mengumpulkan lebih banyak lagi dana-dana masyarakat sehingga dapat masuk ke sistem perbankan.


Kedua, perbankan dapat melakukan penjualan obligasi global (global bond) untuk menarik dana investor asing sebagai sumber dana pertumbuhan. Beberapa bank-bank besar memiliki kinerja keuangan yang sehat dan didukung dengan tingkat return yang menarik sehingga berpotensi menarik minat para investor asing untuk meletakkan investasinya dalam bentuk global bond. Namun demikian, perlu menjadi perhatian untuk melakukan penyesuaian terhadap jangka waktu obligasi yang diterbitkan dengan jangka waktu pinjaman yang akan dikucurkan bank sehingga risiko mismatch maturity dapat dimitigasi.


Ketiga, perbankan Indonesia harus mendiversifikasi produknya untuk memastikan Devisa Hasil Ekspor (DHE) tetap berada di Perbankan Indonesia. Tentunya, diperlukan kolaborasi antara Pemerintah dan Industri Perbankan dalam menciptakan produk yang menarik serta didukung oleh kebijakan atau insentif yang juga menarik bagi pelaku usaha.


Keempat, dukungan Pemerintah untuk menciptakan iklim usaha dan iklim investasi yang kondusif sehingga penanaman modal asing langsung (foreign direct investment) dapat berjalan dengan optimal. Tentunya dengan kehadiran dana yang berasal dari investor luar negeri dapat menambah pundi-pundi likuiditas di Tanah Air.


Kinerja pertumbuhan bisnis perbankan sangat bergantung pada kondisi makro ekonomi. Kondisi likuiditas ketat menjadi pekerjaan rumah bersama yang perlu segera diatasi sehingga tidak menjadi penghambat pertumbuhan industri perbankan yang saat ini hanya mampu tumbuh single digit.


Kehadiran peran Pemerintah dalam mewujudkan less cash society, penetapan kebijakan yang tepat untuk menjaga DHE, maupun menarik penanaman modal asing langsung sangat dibutuhkan untuk memacu kinerja perbankan ke depan. Akhirnya, kolaborasi pelaku industri perbankan bersama Pemerintah diharapkan mampu mewujudkan mimpi para stakeholder untuk mengoptimalkan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi sehingga dapat mengambil peran sebagai katalisator perekonomian domestik. Semoga!

 

Andreas Hassim dan Akbar Suwardi

Praktisi dan Pengamat Perbankan

(tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili tempat penulis bekerja)

 


-00-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Random Effect Model (REM)

Linear Probability Model (LPM), Logit Model, dan Probit Model (Normit Model) dengan STATA (2011)

Pooled Least Square (PLS)