Mencermati Efektivitas Kebijakan Single Digit

Oleh Akbar Suwardi
( Ekonom Perbankan )
 Dari akhir tahun 2015, pemerintah berkeinginan untuk membuat Net Interest Margin (NIM) dan suku bunga perbankan Indonesia dapat diturunkan. Untuk NIM ingin dibawah 3% dan suku bunga di bawah 10% atau single digit. Hal tersebut dikarenakan pemerintah menilai bahwa kondisi perbankan Indonesia saat ini belum efisien dalam proses bisnisnya sehingga dinilai akan sulit untuk bersaing di Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Perbankan di tahun 2020.

Melihat dari sudut pandang pemerintah, salah satu faktor yang dapat membuat perbankan lebih efisien adalah membuat suku bunga pinjaman dan simpanan yang lebih kompetitif atau single digit. Diharapkan, dengan penurunan suku bunga pinjaman maka biaya pinjaman juga turun sehingga akan meningkatkan ekspansi kredit dan menurunkan Non Performing Loan (NPL) karena berkurangan besarnya cicilan kredit.  Diharapkan pula, kondisi tersebut akan meningkatkan efisiensi perbankan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.


Pemerintah sadar bahwa suku bunga pinjaman tidak bisa bisa diintervensi, karena tingkat suku bunga terbentuk atas supply dan demand di pasar. Sehingga yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah mengefisienkan faktor-faktor pembentuk tingkat suku bunga, sisi simpanan, yang dapat dikontrol, seperti membatasi suku bunga deposito untuk BUMN dan Kementerian atau Lembaga.

Pada dasarnya sesuai dengan kondisi pasar atau persaingan perbankan suku bunga simpanan dan pinjaman di Indonesia dari tahun ke tahun telah mengalami penurunan. Hal yang sama pada sisi NIM, sebelum tahun 2011 masih terdapat bank yang memilki NIM atas 10%, setelah tahun itu relatif NIM perbankan Indonesia mengalami penurunan hingga menjauh dari double digit. Hal tersebut terjadi seiring dengan penurunan inflasi, pelonggaran likuiditas perbankan, serta semakin efisiennya oprasional perbankan melului penerapan aplikasi teknologi.

Dampak dan Efektivitas Kebijakan Single Digit
Secara mudah dampak terhadap kebijakan single digit dapat dilihat dari sisi mikroekonomi dan makroekonomi. Dari sisi mikroekonomi, adanya penerapan suku bunga single digit, pada Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4, akan berpotensi terjadinya migrasi nasabah atau debitur, khusunya yang bagus-bagus, dari bank kecil (BUKU 1 dan BUKU 2) ke bank-bank BUKU 3 dan BUKU 4. Disatu sisi, bank kecil masih menerima simpanan dengan suku bunga tinggi, namun harus menyalurkannya dalam suku bunga rendah pinjaman karena harus bersaing juga dengan bank BUKU 3 dan BUKU 4. Dengan kondisi tersebut bisnis pada bank kecil dikhawatirkan akan terganggu. Apabila kondisi tersebut tidak diantisipasi bukan tidak mungkin akan menggangu perekonomian Indonesia secara lebih luas.
    
Dari sisi makaroekonomi, Suku bunga pinjaman yang menurun, dengan kondisi volume kredit yang disalurkan bertambah secara alamiah 12%-14%, akan menurunkan pendapatan perbankan. Penurunan tersebut akan menekan penerimaan pajak dan deviden dari perbankan. Dikhawatrikan hal tersebut belum diantisipasi oleh pemerintah sendiri, Kementerian Keuangan, sehingga defisit APBN dapat berpotensi tambah melebar. Melebarnya defisit diatas yang ditargetkan, dikhawatirkan akan mendorong instabilitas kondisi makroekonomi domestik. 
  
Disamping itu, terdapat beberapa tantangan dalam pelaksanaan kebijakan single digit di tahun 2016 sehingga dapat menganggu efektivitas dari kebijakan single digit di tahun ini dan dapat “mengorbankan” kondisi kesehatan bank di Indonesia. Pertama, likuiditas perbankan saat ini masih cukup ketat karena tingginya Loan to Deposite Ratio (LDR) tercatat masih diatas 92%. Hal tersebut ditambah dengan target ekspansi kredit pada perbankan nasional sekitar 12%-14% dan terdapat potensi penarikan dana-dana institusi dan dana-dana retail (masyarakat) ke Surat Berharga Negara (SBN).

Kedua, pencairan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih lambat di kuartal-I 2016 dan masih menumpuknya dana APBD di Bank Daerah (BPD) sehingga faktor pendorong ekonomi di daerah masih terhambat. Ketiga, daya beli masyarakat masih terbatas dan kegiatan perdagangan luar negeri juga masih terhambat faktor eksternal yang belum pulih sepenuhnya, seperti Ekonomi Tiongkok dan Amerika Serikat.

Untuk dapat melaksanakan kebijakan single digit pada simpanan dan pinjaman, terdapat beberapa rekomendasi yang dapat dijalankan oleh Regulator sehingga kebijakan dapat efektif atau tidak ada shock yang berlebihan terhadap kondisi makroekonomi dan mikroekonomi, diantaranya: Pertama, penurunan suku bunga pinjaman dilaksanakan secara gradual dalam waktu tiga-lima tahun (bukan satu tahun) atau dimana setelah masalah-masalah fundamental dapat ditangani dengan baik. Kedua, koordinasi yang lebih baik antara otoritas fiskal, moneter, dan perbankan (OJK) mengenai indikatif yield dari SBN, pelonggaran likuiditas, dan penurunan biaya-biaya dana dengan mekanisme kebijakan yang credibel.

Ketiga, solusi menyeluruh terhadap bank-bank BUKU 1 dan BUKU 2, termasuk BPD atau Bank Daerah sehingga ada insentif untuk pemilik untuk menguatkan banknya baik melalui cara akuisisi atau merjer. Keempat, memastikan keberlanjutan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan subsidi dari APBN. Hal tersebut dikarenakan dalam pemberian kredit kepada kredit segmen mikro dan kecil terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya: biaya pencadangan, tenaga kerja, jaringan kantor, dan mobilisasi dana dari kota ke desa atau daerah yang tidak terjangkau oleh pembangunan infrastuktur selama ini.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Random Effect Model (REM)

Linear Probability Model (LPM), Logit Model, dan Probit Model (Normit Model) dengan STATA (2011)

Pooled Least Square (PLS)