Mencermati Dampak Penurunan Inflasi

Oleh Akbar Suwardi
( Ekonom Perbankan )
 
Dalam kondisi normal, bulan yang terdapat perayaan Hari Raya Idul Fitri merupakan penyumbang tingkat inflasi terbesar. Tercatat dari tahun 2008 hingga 2014, pertumbuhan inflasi dari bulan ke bulan (mtm) sekitar 0,7%-1,0%. Begitu juga pada tahun 2015. Bila diperkirakan pertumbuhan inflasi Juli 2015 mtm sekitar 0,7%-0,9%, maka tingkat inflasi Juli 2015 diestimasi akan turun menjadi sekitar 7,01%-7,23% (yoy). Angka tersebut juga dapat menandakan bahwa tingkat inflasi pada bulan Juni 2015 yang sebesar 7,26% (yoy) merupakan yang paling tinggi di  tahun 2015

Selama tidak ada kebijakan yang ekstrem seperti tahun-tahun sebelumnya, penurunan tingkat inflasi akan terus terjadi hingga akhir tahun bahkan diperkirakan tingkat inflasi akan berada di sekitar 3%-4%. Tingkat inflasi tersebut dapat dikatakan rendah setelah dua tahun berturut-turut tingkat inflasi diatas 8%, yaitu pada tahun 2013 (8,06%) dan 2014 (8,36%).


Beberapa  faktor yang dapat menekan tingkat inflasi tahunan (yoy) diakhir tahun 2015, diantaranya: Pertama, mulai efektifnya distribusi barang komoditas pokok (volatile food) sehingga antara pasokan dan kebutuhan atas komoditas pokok terkontrol dengan baik.
                                                                                                                                
Kedua, masih cenderung ketatnya kebijakan moneter Bank Sentral dengan menahan suku bunga acuan yang tinggi akibat masih besarnya ancaman pelarian modal (capital flight) ditengah ketidakpastian global.

Ketiga, melemahnya daya beli masyarakat akibat berkurangnya lapangan pekerjaan, seperti tingkat pengangguran di bulan Februari 2015 yang tercatat oleh BPS meningkat 300 ribu orang bila dibandingkan dengan Februari 2014 sehingga total mencapai 7,45 juta orang.

Keempat, mulai menghilangnya efek kenaikan administered price, seperti efek kenaikan BBM dipertengahan 2013 sudah menghilang pada pertengahan tahun 2014. Hal yang sama pada tahun 2015, efek kenaikan BBM pada akhir tahun 2014 diperkirakan menghilang pada Bulan November atau Desember 2015.

Dampak Penurunan Inflasi
Bukan rendahnya tingkat inflasi yang diinginkan oleh para pelaku ekonomi di suatu negara melainkan tingkat inflasi yang stabil dan terukur. Setidaknya hal tersebut dapat dilihat di negara maju saat ini pada umumnya tingkat inflasi rendah, bahkan dapat negatif seperti di Jepang. Rendahnya tingkat inflasi bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh otoritas moneter karena rendahnya tingkat inflasi dapat mengindikasikan perputaran roda perekonomian juga rendah.

Tren penurunan tingkat inflasi yang terjadi terus-menurus dapat memberikan dampak yang negatif bagi perekonomian dalam negeri. Dampak tersebut dalam dilihat dari sisi konsumen dan produsen.

Dari sisi konsumen,  tren penurunan inflasi dapat memberikan insentif untuk menunda konsumsi karena ada kecenderungan untuk menunggu harga-harga turun lebih jauh. Disisi lain, ketika nilai suku bunga tetap tinggi namun tingkat inflasi menurun tajam dapat membuat tingkat suku bunga riil (real interest rate) meningkat sehingga konsumen cenderungan meningkatkan simpanannya dan mengurangi konsumsinya.

Kecenderungan menahan konsumsi dan lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya akan semakin besar ketika konsumen menilai kondisi pemulihan ekonomi belum ada kepastian kedepannya. Oleh karena itu, penurunan tingkat inflasi pada umumnya tidak selalu mendorong peningkatan konsumsi.

Saat ini, kondisi konsumen menahan konsumsinya telah tercermin pada Survei Konsumen Bank Indonesia bulan Juni 2015. Survei tersebut menunjukkan rata-rata pendapatan konsumen untuk konsumsi menurun sebesar 0,6% dari bulan sebelumnya menjadi 67,1%. Sebaliknya, porsi tabungan terhadap pendapatan naik sebesar 0,4% menjadi 19,7%.

Dari  sisi  produsen,  tren  penurunan harga  dapat  menurunkan  insentif  usaha. Seperti diketahui pada umumnya produsen lebih menyukai terjadinya kenaikan harga dari pada penurunan harga. Apabila terjadi kenaikan harga yang terukur maka mendorong peningkatan omset. Disisi lain, penurunan harga barang, terlebih pada barang-barang yang telah dicadangkan, akan membuat penurunan omset dan pendapatan yang pada akhirnya menurunkan laba.

Penurunan daya beli konsumen turut juga menekan penjualan barang yang mana hal tersebut sudah mulai terjadi. Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia mengindikasikan bahwa secara tahunan penjualan eceran pada Mei 2015 tumbuh melambat. Pada survei yang sama menunjukkan Indeks Penjualan Ril (IPR) Mei 2015 sebesar 179,7, tumbuh 19,8% (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan April 2015 sebesar 23,1% (yoy).

Kondisi melemahnya penjualan eceran pada akhir tahun masih ada kemungkinan terjadi kembali, hal tersebut terindikasi dari menurunnya optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi 6 bulan mendatang.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, penurunan tingkat inflasi yang tidak dibarengi dengan penyesuaian tingkat suku bunga, tingkat suku bunga riil meningkat, dapat menurunkan insentif konsumsi dan produksi domestik. Disisi lain, dampak tingkat suku bunga riil tinggi adalah meningkatnya beban utang konsumen dan produsen. Konsumen dan produsen dihadapkan beban utang yang lebih tinggi, karena nilai suku bunga tidak turun, namun disisi lain harga barang yang dijual mengalami penurunan.

Meningkatnya beban utang konsumen dan produsen pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas kredit perbankan. Semakin tinggi beban utang yang ditanggung akan membuat semakin rendah juga kemampuan bayar beban utang sehingga Rasio NPL perbankan akan cederung meningkat. Apabila kondisi diatas tidak diantisipasi akan membuat pertumbuhan ekonomi semakin menurun.

* Telah diterbitkan oleh Koran Kontan, Kamis, 30 Juli 2015.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Linear Probability Model (LPM), Logit Model, dan Probit Model (Normit Model) dengan STATA (2011)

Random Effect Model (REM)

Ordinary Least Square (OLS) dengan STATA (2011)