Terwujudnya Pelayanan Publik berupa Barang dan Jasa yang Kompetitif dan Profesional (2009) - Part1

Pendahuluan

Kondisi perekonomian disetiap negara tidaklah hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja, misalnya hanya perbankan. Namun, banyak sektor yang mempengaruhi kondisi tersebut, sebut saja pelayanan publik di negara tersebut. Di Indonesia, selama ini pelayanan publik berupa barang dan jasa tidaklah memuaskan, hal ini seringkali dapat menjadi hambatan dalam mencapai produktifitas yang efisien di kalangan pelaku ekonomi di dalama negeri. Buruknya fasilitas berupa barang publik yang disediakan seperti, jalan raya, pelabuhan, dan  lainnya. Serta lambanya birokrasi dalam pelayanan jasa, merupakan contoh permasalahan dari Pelayanan publik
Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang sustainable dan mandiri, barang publik yang disediakan oleh pemerintah haruslah kompetitif dan profesional. Kompetitif berarti barang publik dalam pelayanan dan kegunaanya terhadap pelaku bisnis dan masyarakat dapat berkompitisi dengan barang private yang disediakan oleh swasta. Prefesional berarti barang publik dalam pengadaannya harus menggunakan pendekatan organisatif dan sistemastis. Dalam penerapannya, barang publik yang kompetitif dan profesional haruslah diterapkan di segala sektor, baik sektor yang sifatnya pelayanan umum berupa jasa ataupun berupa barang, agar dapat terwujud secara menyeluruh dan komprehensif.   
Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk menjelaskan penegertian atas pelayanan publik dan barang publik, keterkaiatan atas pelayanan publik dan barang publik atas kondisi perekonomian atau pada kondisi iklim investasi, permasalahan – permasalahan atas pelayanan publik berupa barang dan jasa, dan penjabaran atas upaya yang telah digagas oleh ahli ekonomi publik dalam memperbaiki pelayanan publik
      Tinjauan Literatur

Pelayanan Publik

Pelayanan publik merupakan sebuah kewajiban yang dilakukan oleh sebuah kepemerintahan suatu negara tas negara yang dikelolonya. Dan dari sisi mayarkayt merupakan sebuah Ha yang harus di terima. Hudges (1992) mengatakan bahwa ”government organizkation are created by the public, for the public, and need to be accountable to it.” Organisasi publik dibuat oleh publik, untuk publik, dan karenanya harus bertanggung jawab kepada publik.
Pada dasarnya pelayanan public adalah kepercayaan publik. “Public service is a public trust. Citizens expect public servants to serve the public interest with fairness and to manage public resources properly on a daily basis. Fair and reliable public services inspire public trust and create a favourable environment for businesses, thus contributing to well-functioning markets and economic growth,” Dengan demikian, kualitas pelayanan publik merupakan salah satu strategic issue bagi aparatur negara yang harus diaktualisasikan dalam kerangka membangun kepercacayaan public. ( OECD (2000))[1]
Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang disebut dengan pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta menciptakan kondisi agar setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya (Rasyid, 1998:139).
                 Etika pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik” (Kumorotomo, 1996:7). Lebih lanjut dikatakan oleh Putra Fadillah (2001:27), etika   pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang  mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik”. Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188): ”Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas”.[2]

Pengertian barang publik

Barang publik secara umum diartikan berdasarkan tingkat dua karakteristik utama yang dimilikinya : (1) konsumsi bersama (non rivalry) dan (2) non eksklusif.[3]
           Konsumsi bersama mengacu pada ide bahwa ada beberapa barang yang manfaatnya dapat dinikmati oleh lebih dari satu orang pada waktu yang sama. Misalnya, budi dan tedi dapat menikmati oksigen di udara di kantor mereka secara bersamaan. Konsumsi budi terhadap oksigen di udara tidak akan mengurangi jumlah oksigen yang tersedia bagi tedi. Dalam kasus ini, konsumsi budi dan konsumsi tedi dikatakan non-rival. Ada banyak contoh barang yang menawarkan konsumsi non-rival. Dua orang dapat menonton sepak bola tanpa mengurangi kenikmatan orang lain. Para densusu 88 yang berkerja menangkap para teroris untuk keamana masyarakat. Pekerjaan seorang diplomat atau perlindungan kapal nuklir dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, dan manfaat yang diterima seseorang tidak mengurangi manfaat yang diterima orang lain.
          
         Ada beberapa barang yang tidak bersifat konsumsi bersama. Dua orang tidak dapat mengkonsumsi ketoprak secara bersama-sama. Manfaat dan kepuasan budi memakan ketoprak tidak akan tersedia bagi tedi. Karena jika memeng terjadi, budi dan tedi memakan ketoprak tersebut bersama-sama, maka kepuasann yang akan terjadi akan berbeda atau kurang dibandingkan jika sendiri – sendiri. Oleh karena itu, ketika konsumsi barang oleh seseorang tidak dapat dikonsumsi oleh orang lain, konsumsi dua orang tersebut disebut rival.
          Karakteristik kedua yang membedakan barang publik dengan barang swasta adalah non-eksklusifitas. Untuk beberapa barang, kemampuan teknik untuk mengecualikan konsumsi orang-orang yang tidak membayar merupakan hal rutin. Untuk barang lain, pengecualian tersebut tidak dimungkinkan. Hanya karena terdapat suplai lontong sayur tidak berarti semua orang dapat menikmatinya. Jika anda tidak membayar penjual lontong sayur, anda tidak akan mendapat lontong sayur tersebut tersebut.
        Non-eksklusifitas terjadi ketika seseorang dapat menikmati manfaat barang baik dengan membayar maupun tidak. Misalnya, jika lingkungan telah menyemprot nyamuk, sulit untuk mencegah orang lain yang tidak membayar untuk menikmati hasil semprotan tersebut. Atau dengan skala yang lebih luas, jika terdapat sistem pertahanan negara, semua penduduk dapat memperoleh manfaat baik membayar pajak atau tidak. Ini tidak berarti bahwa perusahaan pencari-keuntungan akan mensuplai barang yang bersifat non-eksklusifitas. 

 Efisiensi Pareto

Efisiensi Pareto menyatakan bahwa suatu keadaan lebih diinginkan dibandingkan yang lain jika menghasilkan perbaikan satu individu atau lebih tanpa merugikan kesejahteraan orang lain. Ketika satu titik dicapai dimana memperbaiki sejumlah orang akan merugikan kesejahteraan orang lain, dikatakan telah mencapai titik optimal Pareto. Optimalitas Pareto merupakan kriteria hati-hati. Ia menolak setiap gerakan yang membahayakan setiap orang meski manfaat untuk beberapa orang akan merugikan orang lain.[4]
            
Optimalitas Pareto merupakan sasaran sistem pertukaran sukarela. Dalam kasus barang swasta, mengapa dua individu bebas melakukan transaksi kecuali keduanya merasa situasi ekonomi mereka akan meningkat? Jika masyarakat merasa keadaan ekonomi mereka akan memburuk dengan melakukan kontrak, mereka tidak akan melakukannya. Jika kita menganggap transaksi ekonomi sebagai bentuk sistem pemilikan, kita dapat mengatakan bahwa keputusan pertukaran sukarela dibuat atas dasar kesepakatan bersama.

 Kondisi Pelayanan Publik di Indonesia

  1. High Cost Economy
Iklim Investasiyang merupakan salah satau faktor penting bagi perekonomian seuatau  negara juga dipengaruhi oleh pelayanan publik dalam pemprosesannya atau birokarsi. Lamanya waktu yang terbuang serta tingginya biaya yang dikeluarkan untuk memulai suatu usaha baru di Indonesia. Baik bagi sisi Asing ataupun dalam negeri, merupakan suatu yang perlu dipertimbangkan.
Tabel 1.1 Hambatan Jalannya Bisnis[1]






 Katagori
Indonesia
Pakistan
Philipina
Banglades
Cina
Anti Kompetisi
17.3
21.3
24.3
29.3
17.6
Lisensi Bisnis dan Izin Usaha
17.5
14.5
13.5
16.5
15.9
Korupsi
38.2
40.4
35.2
57.8
22.4
Pungutan liar terhadap Penerimaan
3.4
2.0
1.9
2.5
1.8








[1] Laporan ADB dan Bank Dunia, May 2005

Dilihat pada Tabel 1.1,  pada anti kompetisi Indonesia menduduki peringkat terakhir. Lama nya Lisensi Bisnis dan Izin Usaha pada urutan yang pertama, hal ini menandakan sulitnya para Investor dalam menginvestasikan dananya ke Indonesia, dana hal ini pula yang dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi dan memperburuk iklim Insvestasi dalam negeri. Sedangkan jika dibandingkan neagara berkembanga lainnya di Asia, Indonesia  menempati posisi teratas dalam hal pembuatan izin usaha paling lama dan panjangnya prosedur yang harus dilalui perusahan dalam memulai usaha baru.
Korupsi, seperti yang kita ketahui tingkat korupsi merupakan hal penting dalam memeperhatiakan ketidaka efisienan suatu negara, namun sangat memprihatinkan ternyata Indonesia mempati posisi ketiga ketiga tertinggi dalam hal Korupsi (The Investment Climate Study, 2005)  setelah Banglades dan Pakistan,
“korupsi merupakan titik kulminasi dari proses hubungan kolusi yang sistemik antara pelaku institusi politik (baik politikus atau birokrat) dengan pelaku ekonomi (baik ekonomi privat atau masyarakat biasa) yang relatif kontinyu sehingga menghasilkan semacam situasi dilematis (reconfusion) dalam menentukan batas-batas ruang lingkup ‘publik’ dan ‘privat”’.[6]

Kata kolusi di atas merujuk pada pengertian adanya kesepakatan rahasia untuk kepentingan kedua belah pihak yang biasanya bersifat ilegal atau pemalsuan, sementara bentuk titik kulminasi di atas misalnya skandal terbuka, kebangkrutan ekonomi negara, bahkan kudeta, atau revolusi sosial. Pungutan Liar terhadap penerimaan pada urutan tertinggi, yang menandakan bahwa banyaknya adaministratif yang ilegal yang pada nyatanya sangat membebankan para perusahaan dalam pengoprasian produksinya.

  1. Penyediaan barang Publik
Kondisi barang publik yang diberikan oleh pemerintah tidaklah disertai dengan perawatan oleh pemerintah, akibatnya selain habisnya dana yang besar dalam membangun hal tersebut, namun juga mengganngu jalannya perekonomian, sebagai salah satu contoh, jalan raya, jalan raya sangatlah diperlukan oleh para pengusaha dalam memproduksi.
Pada dasarnya, penyediaan barang publik dapat dikatagorikan pada menajadi dua, yaitu yang terlibat lagsung dan yang tidak terlibat langsung bagi perekonomian. Bagi Barang publik yang tidak terlibat langsung dalam perekonomian, karena butuh waktu atau proses yang lama untuk merasakan hasil atas kebijakan tersebut, seperti pada Sektor Kesehatan dan Pendidikan. Sektor Kesehatan: Rumah sakit, puskesmas, Sektor Pendidikan : Bangunan Sekolahan, Perpustakaan Umum. Penyediaan barang publik berupa Infrastruktur yang terlibat langsung daam perekonomian, seperti pembangunan Pasar, Baik Tradisional atau yang modern, Pembangunan jalan buat transportasi bahan baku serta barang jadi bagi kegiatan perkeonomian, pelabuhan dan airport yang digunakan sebagai tempat ekspor dan impor.

Penyedian barang publik atas perekonomian sebuah negara sanagatlah vital atau penting keberadaanya. Di Indonesia, belanja keperluan publik telah menyerap sekitar 30-40% dari anggaran belanja negara. Pada beberapa departemen pemerintah, seperti Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Pendidikan Nasional, pengeluaran pengadaan barang dan jasa publik berkisar antara 60 % - 70% setiap tahun anggaran. Oleh sebab itu, belanja negara dalam pengadaan barang dan jasa publik harus disertai dengan proses yang jujur dan pengelolaan secara tepat. Berbagai langkah harus diambil untuk mengurangi dan meminimalisir potensipenyimpangan dan pelanggaran. Besarnya angka belanja negara dalam pengadaan barang dan jasa sangat rentan korupsi. Menteri Negara BUMN, Soegiharto, memprakirakan bahwa 80% dari korupsi dan penyelewengan di BUMN terjadi di bidang pengadaan barang dan jasa. Menurut Indeks Pembayaran Suap TI tahun 2002, sektor bisnis yang rawan terjadi suap adalah: Pekerjaan Umum/konstruksi (46%); senjata dan pertahanan (38%); minyak dan gas (21%); keuangan (15%); dan perumahan (11%).

-Berlanjut ke Part 2-


[1] Dimensi Kepemimpinan Aparatur dalam Perspektif Pelayanan Publik: Building the Trust, Oleh A. Aziz Sanapiah
[2] Mewujudkan Birokrasi Yang Mengedepankan Etika Pelayanan Publik , Oleh  I Wayan Sudana
[3] Economics of The Public sector, oleh Joseph E. Stiglitz
[4] Economics of The Public sector, by Joseph E. Stiglitz
[5] Laporan ADB dan Bank Dunia, May 2005
[6] Ahmad Zaenal Fanani, SHI “Optimalisasi Pelayanan Publik; Persepektif David Osborne dan Ted Gaebler”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Linear Probability Model (LPM), Logit Model, dan Probit Model (Normit Model) dengan STATA (2011)

Random Effect Model (REM)

Ordinary Least Square (OLS) dengan STATA (2011)